Selasa, 20 Agustus 2013

Siapa Hasan Al Banna ? Apa Peran beliau atas kemerdekaan Indonesia

Berikut Biografi Imam Hasan Al Banna

Nama “Hasan Al-Banna” selalu lekat dengan jamaah Al-Ikhwan Al-Muslimun, karena beliau adalah pendiri dan menjadi Mursyid ‘Am pertama jamaah tersebut. Sekalipun sang imam “Al-Banna” -semoga Allah merahmatinya-, tidak mengenyam kehidupan lebih dari 42 tahun, namun pada masa hidupnya banyak memberikan kontribusi dan prestasi yang besar sehingga banyak terjadi lompatan sejarah terutama dalam melakukan perubahan kehidupan umat menuju Islam dan dakwah Islam yang lebih cerah, banyak perubahan-perubahan yang dicapai olehnya, apalagi saat beliau hidup kondisi umat dalam keadaan yang begitu parah dan mengenaskan, keterbelakangan, ketidakberdayaan, kebodohan umat, dan ditambah dengan penjajahan barat.

42 tahun kalau diukur dari perjalanan sejarah merupakan waktu yang singkat, merupakan usia yang belum bisa memberikan apa-apa, walaupun umur sejarah tidak bisa diukur berdasarkan tahun dan hari, namun dapat juga diukur dari banyaknya peristiwa yang berdampak pada perubahan kondisi, situasi dan keadaan, dan inilah yang selalu melekat pada sosok Hasan Al-Banna, beliau banyak memberikan pengaruh dalam perubahan sejarah, dan beliau juga merupakan salah satu dari orang yang memberikan kontribusi melakukan perbaikan dan perubahan dalam tubuh umat. Sekalipun umur beliau relatif pendek namun beliau termasuk orang yang mampu membuat sejarah gemilang.
Setiap orang pasti memiliki faktor yang dapat dinilai mampu memberikan kontribusi dan saham dalam pembentukan karakter dan jati dirinya dan menentukan berbagai hakikat yang dipilihnya. Dan bagi pemerhati lingkungan yang di dalamnya hidup sang imam Al-Banna akan dapat menemukan awal yang baik, dan karena itu berakhir dengan baik. Seperti dalam ungkapan: “Akhir yang baik mesti diawali dengan permulaan yang baik”.

Masa Kecil Imam Hasan al-Banna

Imam Hassan Al Banna telah dilahirkan pada 14 Oktober 1906, di  desa Mahmudiyah yang terletak di Iskandariah, Mesir. Hassan al Banna merupakan anak sulung daripada lima bersaudara. Ayahnya, Syeikh Ahmad ibn Abd al Rahman al-Banna adalah seorang ulama, imam, guru dan pengarang beberapa buah kitab hadis dan fikah perundangan Islam, dan lulusan Universitas Al Azhar Mesir. Namun beliau hanya bekerja sebagai tukang servis jam dan gramaphone (radio) sebagai sumber untuk menyara hidup keluarga beliau.


Bapak Imam Hasan al-Banna

Sebagai seorang ulama, ayahnya mempunyai perpustakaan yang agak besar di rumahnya. Beliau menghabiskan sebahagian masanya mempelajari Syariat Islam dan menyebarkannya secara personal demi personal ke orang – orang sekitarnya. Sejak kecil Hassan al-Banna sering menghadiri dan mengambil baagian dalam setiap kagiatan ayahnya tersebut. Disinilah sebenarnya yg telah membentuk pemikiran, wawasan dan karakter Hasan Al Banna. Ketokohan, keilmuan dan keperibadian Syeikh Ahmad al Banna diwarisi oleh Hassan al Banna.

Bahwa komitmen dengan Islam dan manhaj robbani sangat membutuhkan pondasi utama pada lingkungan yang menggerakkannya, agar dapat tumbuh dan besar seperti pondasi tersebut, dan jika tidak ada lingkungan yang mendukung maka akan menjadi sirna dan mati sejak awal kehidupannya. Dan Allah telah memberikan karunia besar terhadap imam “Al-Banna” dengan lingkungan yang baik ini. Orang tuanya memberikan tarbiyah sejak awal dengan baik; meumbuhkan kecintaan terhadap Islam kepada anaknya sejak dini, selalu memelihara bacaan dan hafalan Al-Qur’an, sehingga memberikan kepada pemuda tersebut waktu dan tenaga yang cerah dalam berfikir dan berdakwah, dan pada saat itu pula –yang mana pada saat itu- Islam telah tertutupi oleh kehidupan yang bebas dan politik yang rusak, tampak menjadi asing –bahkan aneh dan tidak wajar- melihat seorang pemuda yang begitu besar komitmennya terhadap ajaran Islam sampai pada masalah waktu, atau dalam menunaikan ibadah shalat dengan penuh kedisiplinan.

Sejak kecil lagi Hassan Albanna terdepan diantara kawan-kawannya dengan sifat kepemimpinannya. Beliau pernah terpilih menjadi pemimpin   Jemaah Al Suluka Al Akhlaqi di sekolah. Keluarga Hassan Al- Banna begitu tegas dalam mendidik anak-anak berdasarkan ajaran Islam. Hal ini menyebabkan beliau telah menghafal Quran dalam usia yang begitu muda.

Beliau kemudian telah memasuki Pusat Latihan Perguruan. Selepas tiga tahun di sana beliau mendapat tempat pertama dalam prestasi pendidikannya. Kemudian beliau telah memasuki Darul Ulum (Universitas Kairo) di Kaherah pada awal usia 16 tahun.

Di sinilah pertama kali beliau tergugah dengan pergolakkan partai politik dan juga pertumbuhan kelompok anti Syariat Islam yang dicetuskan oleh Kamal Atartuk. Idealisme yang kebanyakannya bertentangan dengan Islam juga meletup pada masa itu. membuat Mesir dilanda keruntuhan akhlak yang dasyat. Terlebih dengan tragedi runtuhnya Khilafah Al Islamiyah

Ketika di Darul Ulum, beliau mulai mengadakan kegiatan pengajian Islam. Hassan AlBanna dan rekan-rekannya mulai berdakwah di tempat orang ramai selalu berkumpul seperti di kedai kopi. Beliau juga telah rajin mengirim surat dan mengajak ulama-ulama dan imam-imam besar pada masa itu untuk melawan ‘banjir’ westernisasi yang menenggelamkan umat pada ketika itu.

Imam Al-Banna kecil (muda) hidup dibawah naungan dan lingkungan yang bersih dan suci. Dan rumah yang di dalamnya hidup sang imam juga merupakan rumah yang tershibghah dengan shibghah islam yang hanif. Orang tuanya bernama syaikh Ahmad Abdurrahman Al-Bann. Beliau adalah seorang imam masjid di desanya, dan seorang tukang reparasi dan penjual jam. Namun disisi lain orang tuan Hasan Al-Banna adalah sosok pecinta ilmu dan buku, sehingga senang menuntut ilmu dan membaca buku, dan sebagian waktunya banyak dihabiskan untuk membaca dan menulis, dan beliau juga banyak menulis kitab, diantaranya adalah “Badai’ul Musnad fi Jam’I wa Tartiibi Musnad As-Syafi’I”, “Al-Fathu Ar-Robbani fi Tartiibi Musnad Ahmad As-Syaibani”, “Bulughul Amani min Asrori Al-fathu Ar-Robbani”

Imam Al-Banna selalu berpegang teguh dan yakin dengan keislamannya bahkan merasa bangga dengannya. Dan pada saat berdiri Universitas Cairo, dan Dar El-Ulum merupakan salah satu bagian dari kuliah yang ada di dalamnya; yang di dalamnya menghadirkan ilmu-ilmu kontemporer, ditambah juga dengan ilmu-ilmu syariah dan pengetahuan tradisional yang telah masyhur di Universitas Al-Azhar sebelumnya. Dan -pada saat itu pula- Imam Al-Banna mendaftarkan diri untuk kuliah di Dar El-Ulum, walaupun beliau tidak merasa cukup dengan ilmu yang di dapat di kuliah sehingga beliau mencarinya ditempat yang lain sebagai tambahan; seperti beliau selalu hadir mengikuti majlis ilmu pimpinan syaikh Rasyid Ridha, dan beliau sangat terkesan dengan tafsirnya yang terkenal yaitu “Al-Manar”.

Namun hal tersebut tidak menghalangi dirinya mendapatkan nilai yang begitu baik dan cemerlang, sehingga beliau berhasil menamatkan kuliahnya dengan hasil yang gemilang, dan beliau merupakan angkatan pertama kuliah tersebut. Lalu -setelah itu- beliau diangkat sebagai guru pada madrasah ibtidaiyah disalah satu sekolah yang terletak di propinsi Ismailiyah, yaitu pada tahun 1927, dan di kota tersebut Imam Al-Banna muda tidak hanya terpaku pada jati dirinya sebagai guru madrasah ibtidaiyah, namun beliau juga menjadi da’i kepada Allah, yang pada saat itu masjid-masjid disana kosong dari pemuda. Sehigga tidak ada anak-anak muda yang sholat di masjid namun asyik dengan minuman alkohol yang memambukkan. Maka tampaklah beliau sebagai seorang pemuda yang ahli ibadah, taat kepada Allah dan sebagai da’i kepada Allah yang mengajak umat untuk kembali pada Islam yang hanif.

Dan di kota Ismailiyah pula Imam Al-Banna banyak melakukan interaksi dengan lembaga-lembaga Islam dan beliau tampil sebagai da’i dengan berbagai sarana yang dimiliki dan berkeliling ke berbagai tempat dan desa. Beliau pergi sebagai da’i dan membawa kabar gembira tentang agama Islam. Beliau menyeru dan mengajak manusia yang berada tempat-tempat perkumpulan mereka, dan diatara tempat perkumpulan yang sering belaiu datangi adalah café. Disana beliau memberikan kajian keagamaan, terutama pada sore hari ini, sehingga dengan kajian yang beliau sampaikan banyak menarik perhatian sebagian besar masyarakat pengunjung cafe; sehingga menjadikan pemilik café tersebut berlomba-lomba mengundang Imam Al-Banna untuk memberikan kajian sore di café-cefe milik mereka. Dan akhirnya di kota Ismailiyah –dengan taufik dari Allah- dan dengan keberkahan akan juhud dan keikhlasannya, Imam Al-Banna mampu mengeluarkan cahaya dakwah terbesar dan memberikan pengaruh yang sangat besar hingga saat ini. Yaitu berdirinya Gerakan Al-Ikhwan Al-Muslimun yang dipimpin langsung oleh Imam Al-Banna. Padahal saat itu umur beliau masih muda sekali, baru mencapai antara tidak terlalu muda, tidak baya dan juga tidak terlalu tua. Pemuda yang ahli ibadah itulah yang telah mampu mendirikan gerakan dakwah Islam terbesar di dunia saat ini.

Imam Hasan al-Banna : Dari Pengajian Ke Gerakan Ikhwanul Muslimin

Setelah beliau menamatkan pelajaran di Darul Ulum dengan prestasi terbaik, beliau lalu bekerja sebagai guru. Ketika itu, Imam Hassan Albanna mulai prihatin dengan keadaan umat Islam kerana umat islam hanya sibuk dengan berbincang  lalu mulai bergerak aktif didalam masjid dan menyampaikan dakwah-dakwah beliau.

Tahun 1928, Hassan al-Banna dikunjungi adik dan lima orang sahabat yang tersentuh dengan ceramah beliau di rumahnya dan berjanji setia bersama untuk hidup dan mati karena Islam. Di rumah itulah Jemaah Ikhwan Muslimin mulai lahir dan dirintis. Saat itu usia Hasan Al Banna adalah 23 tahun.

Sejak dari hari itu, kegiatan dakwah Ikhwan mulai bergerak dan terus bertumbuh hingga seluruh pelosok Mesir dan negara-negara lain. Tahun 1934, Ikhwan telah menubuhkan lebih dari 50 cabangnya di Mesir. Pertumbuhan ini telah menumbuhkan beberapa sekolah, masjid dan kilang. Pada penghujung Perang Dunia Kedua, lkhwan mempunyai lebih kurang setengah juta hingga 3 juta anggota yang aktif. Terus berkembang hingga memiliki 3000 cabang di Mesir hingga ke Sudan.

 
Hassan AlBanna dan pegawai delegasi Indonesia, pertemuan yang memulakan Ikhwan di Indonesia


Ikhwan juga mengirimkan para mujahidinnya ke Palestina. Mujahidin – mujahidin ini dibina dan dikader dengan pola kaderisasai yang ketat. Intensifitas tarbiyyah yang mengkontrol dan memotivasi para kader Ikhwan untuk menghafal al qur’an, menegakkan Syariat Islam dan meninggalkan hal – hal makruh menjadi nilai penting untuk membangun ruhiyah para mujahidin Ikhwanul Muslimin.

Dalam satu jawapan yang diberikan oleh wartawan barat terhadap dirinya yang bertanyakan siapakah dia, Hassan Al Banna menjawab, ”Saya adalah perantau yang mencari kebenaran, dan insan yang mencari arti kemanusiaan di kalangan manusia, dan warganegara yang inginkan kemuliaan, kebebasan, kestabilan, hidup yang baik untuk negara dan berjuang untuk menegakkan Islam.”
Kerajaan Inggris pernah menjemput Hassan al Banna ke kedutaan mereka untuk minum teh. Beliau dipuji kerana sikapnya yang baik, kerja-kerja kebajikannya untuk membantu anak-anak yatim dan janda.

Sejak awal dapat kita lihat bahwa imam Al-Banna telah menentukan jalannya dan karakter hidupnya; yaitu jalan hidup yang beliau lakoninya dalam kehidupannya secara pribadi yang unik; komitmen terhadap Islam dan manhaj robbani dan interaksinya dengan orang lain dengan baik dan sesuai dengan ajaran Islam. Baliau begitu terkesan dengan hadits Nabi dan begitu kuat berpegang teguh dengannya; yaitu hadits Nabi saw: “Jagalah lima perkara sebelum datang lima perkara.. diantaranya adalah “masa mudamu sebelum datang masa tuamu”, begitupun dengan hadits Nabi saw lainnya: “ada tujuh golongan yang akan mendapatkan naungan Allah pada saat tidak ada naungan kecuali naungannya.. diantaranya adalah “seorang pemuda yang taat beribadah kepada Allah”.

Maka dari itu imam “Al-Banna” kehidupannya adalah islam dan tidak ada yang lain dalam diri dan hidupnya kecuali Islam. Hal itu tampak juga dengan jelas pada beberapa lembaga atau yayasan yang sejak kecil beliau loyal kepadanya, yang kesemuanya merupakan lembaga atau yayasan Islam, seperti “Jam’iyyah As-Suluk wal Akhlak” dan “Jama’ah An-Nahyu Al-Munkar”, dan beliau juga memiliki hubungan yang erat dengan harakah sufiyah yang pada saat itu marak tersebar di berbagai pelosok daerah dan kota di Mesir.

Adapun diantara faktor lain yang membantunya komitmen di jalan kebenaran adalah karena beliau begitu banyak beribadah dan taat kepada Allah, sejak mudanya beliau sering melakukan puasa sunnah, khususnya puasa sunnah yang berhubungan dengan hari-hari besar Islam, dan lebih banyak lagi beliau melakukan puasa hari sunnah senin dan hari kamis pada setiap minggunya, karena mentauladani sunnah nabi saw, sebagaimana beliau juga sangat bersemangat melakukan puasa sunnah rajab dan sya’ban. Kebanyakan dari kita mungkin merasa asing dalam melakukan ketaatan seperti itu, atau merasa berat melakukannya terutama di saat kondisi zaman seperti ini. Sebagaiman usaha yang dilakukan imam Al-Banna dalam ketaatan juga menadapatkan kesulitan, terutama disaat kondisi yang saat itu dialami; adanya gerakan missionaries, globalisasi dan penjajahan yang telah meluas dan merambah dengan cepat di tengah kehidupan masyarakat Mesir saat itu; sehingga memberikan kontribusi yang besar dalam menjauhkan umat dari Islam apalagi untuk komitmen dengan ibadah dan ketaatan.

Pembunuhan Hasan Al Banna

Namun imam Al-banna, hidup melawan arus, beliau berada dalam semangat Islam yang tinggi, berpegang dengan ketaatan dan ibadah kepada Allah, sekalipun umat saat itu sedang diliputi arus globalisasi dan pencampakkan jati diri Islam; sehingga mengakibatkan acuhnya umat terhadap Islam dan jauhnya umat –terutama para pemudanya- dari kehidupan beragama, apalagi juga banyaknya bermunculan seruan dan propaganda asing terhadap dunia Islam seperti liberalisme dan komunisme serta gerakan missionaris yang mengajak untuk jauh dari Islam dan berlaku hidup modernis seperti mereka.

Pengaruh Ikhwan Muslimin yang kuat semakin dikhawatirkan oleh Pemerintah Mesir di bawah Noqrashi Pasha dari Partai al-Safdi. Pada 8 November 1948 Beliau telah mengharamkan Ikhwanul Muslimin atas tuduhan merancang satu pemberontakan untuk menjatuhkan Pemerintahan. Bahkan sumbangan Ikhwanul Muslimin yang mengirim beribu ribu Mujahidin dalam perang menghadapi Israel seolah oleh dinafikanjuga tidak dihargai. Kerajaan mesir bahkan menyuruh membubarkan seluruh aktvitias Ikhwanul Muslimin.



Berbagai-bagai tuduhan dan fitnah dilemparkan terhadap Ikhwan Muslimin. Anggota-anggotanya ditangkap, dimasukkan ke dalam penjara, disiksa dengan kejam, malah ada yang dibunuh.
Tidak lama kemudian Perdana Menteri Mesir telah dibunuh dan Gerakan Ikhwanul Muslimin telah dikambing hitamkan atas kejadian itu. Pada bulan yang berikutnya harta benda pergerakan itu telah dirampas dan beribu ribu orang beliau telah disumbatkan ke dalam penjara.

Pada 12 Feb 1949 beliau telah syahid dibunuh oleh pengkhianatan Islam pemerintah Mesir ketika itu.
Dengan alasan untuk mencari solusi atas ketegangan (konflik) antara Ikhwan Muslimin dan pemerintah, pihak pemerintah menjemput Hassan al-Banna untuk berunding di tempat Pejabat Jam’iyyah al-Syubban al Muslimin. Sebenarnya jemputan itu hanyalah sebagai helah untuk membunuh beliau.

Pada 12 Februari 1949 jam 5 petang, Hasan al Banna bersama iparnya Abdul Karim Mansur, suami dari adik perempuannya sampai di tempat pejabat tersebut. Mereka menunggu Menteri Zaki Ali Basya yang dikatakan mewakili pemerintah untuk berunding, tetapi malangnya Zaki Ali Basya tidak kunjung tiba.

Akhirnya setelah selesai menunaikan solat Isya mereka memanggil taksi untuk pulang. Ketika baru saja menaiki taksi yang dipanggil, dua orang yang tidak dikenali menerpa ke arah taksi dan salah seorang daripada mereka terus melepaskan tembakan pistol. Mereka berdua terkena ternbakan itu. Iparnya itu tidak dapat bergerak akibat terkena tembakan tersebut. Walaupun terkena tujuh tembakan, Hasan al-Banna masih mampu berjalan masuk ke tempat pejabat Jam’iyyah al Syubban al-Muslimin memanggil ambulans untuk membawa mereka ke rumah sakit.

Setibanya di rumah sakit Qasral ‘Aini, mereka dikawal rapi oleh Jeneral Muhammad al-Jazzar dan sengaja melarang pihak rumah sakit untuk memberika pengobatan kepada Hasan al Banna. Pada pukul 12.50 tengah malam, Hasan al-Banna menghembuskan nafas yang terakhir karena kehabisan darah.

Semangat Yang Tak Pernah Mati


Pada pukul satu pagi pihak polis menyampaikan berita kematian kepada ayah Hasan al-Banna dengan dua pilihan: Pihak polis akan menghantarkan jenazah ke rumahnya, dan beliau menjalankan proses penguburan jenazah pada jam sembilan pagi dan tidak boleh ada keramaian atas proses penguburan Hasan Al Banna, jika ia tidak menerima tawaran pertama itu, pihak polisi sendiri terpaksa akan menguburkan jasad Hasan Al Banna tanpa beliau pernah melihat jenazah anaknya itu.

Ayah Hasan al Banna menerima pilihan yang pertama. Sebelum fajar menyingsing, jenazah as-Syahid dibawa ke rumahnya di Hilmiah al-Jadid dengan sebuah kereta yang dikawal rapi oleh polisi yang lengkap bersenjata. Di sekitar rumahnya juga terdapat polisi dan tentara berkawal dengan rapi. Mereka tidak mengizinkan siapapun mendatangi kawasan tersebut. Jenazah Almarhum dibawa masuk ke rumahnya secara tidak ada orang yang melihatnya dan tidak ada yang mengetahui masa ketibaannyasecara diam-diam.

Ayah Hasan al-Banna yang sudah berusia lebih 90 tahun itu dengan penuh kesabaran memandikan dan mengapankan jenazah anaknya seorang diri. Setelah diletakkan ke atas keranda, beliau memohon pihak polisi mencari beberapa orang untuk mengusungnya. Tetapi pihak polisi menjawab “biarkanlah orang-orang perempuan tolong mengusungnya”.

Polisi tetap tidak membolehkan siapapun datang ke rumah tersebut untuk mengucapkan takziah dan tidak dibenarkan membaca al-Quran. Ayah Hasan al-Banna tidak dapat berbuat apa apa lagi. Beliau dengan tiga orang perempuan terpaksa mengusung anaknya itu menuju ke Masjid al-Qaisun untuk disembahyangkan. Pihak polis lebih dahulu telah pergi ke masjid memerintah orang-orang yang ada di situ supaya meninggalkan masjid. Sheikh Abdur Rahman seorang diri menunaikan solat jenazah ke atas anaknya itu. Kemudian mereka meneruskan pengusungannya menuju ke perkuburan untuk menguburkan jenazah Almarhum.

Sosok Imam Al-Banna memiliki banyak keistimewaan, sosok yang universal dan seimbang, pemuda aktivis, seorang khatib yang antagonis terhadap kebatilan dan kemaksiatan, memiliki perasaan yang lembut, dan komunikatif dengan semua orang; baik dengan orang awam, petani dan buruh. Beliau juga seorang cendekiawan yang memiliki ilmu, yang mampu berinteraksi dengan para cendekiawan lainnya. Saat berada ditengah umat manusia, banyak yang takjub kepadanya baik dari kalangan cendekiawan, hartawan, awam, petani dan buruh serta yang lainnya. Ini semua sejalan dengan dakwahnya yang didasarkan pada pembentukan umat, dakwah dan individu yang seimbang dalam berbagai sisinya.

Dan Imam Al-Banna juga sangat memiliki karakter yang mampu memberikan pengaruh pada orang yang ada disekitarnya, hal ini kembali pada pondasi yang beliau miliki yaitu kedekatan diri kepada Allah -Kita berharap demikian dan kita tidak merasa paling suci kecuali hanya Allah-. Dan kita temukan bahwa dakwah Al-Ikhwan –dan Al-Ikhwan itu sendiri- telah terpengaruh dengan sosok imam Al-Banna; karakternya yang baik, ikhlas dan taat kepada Allah, yang kesemuanya bersumber pada cahaya kenabian. Sebagaimana beliau juga memiliki sosok yang mumpuni dan lemah lembut, selalu perhatian dan menolong orang-orang yang mazhlum, dan dalam sejarahnya telah banyak disaksikan bahwa usaha dan kerja al-ikhwan di berbagai tempat, daerah dan negara selalu membela hak-hak umat Islam yang terampas.

Oleh karena itulah bagi kita dapat mengambil ibrah dari perjalanan sosok pemuda yang berhimpun di dalamnya jiwa yang memiliki nilai-nilai mulia dan agung, bagaimana jiwa tersebut dapat mampu membangun generasi yang islami, tidak menyimpang dari jalan Allah dan menepati dan menunaikan amanah yang diembannya dengan optimal dan baik, sekalipun kondisi, ujian dan cobaan yang dihadapi selalu datang silih berganti dalam rangka berpegang teguh pada jalan Allah dan agama Islam serta dalam usaha meninggikan kalimat (agama) Allah dan mentauladani sirah nabi saw.
Oleh : Indra Bujana

Sabtu, 17 Agustus 2013

Champion Of Life 

AKU jatuh hati pada Indonesia.
Tanah air alunan balada antagonis-protagonis yang harmonis.

(Emha Ainun Nadjib bersama Presiden PKS Anis Matta)

Tak peduli apakah nenek moyang mereka adalah Ibu Peradaban Dunia ataukah raja dan rakyat dungu yang bisa dijajah ditipu diperdaya oleh sekumpulan satpam VOC.

Biarin apakah mereka berasal usul dari Negeri Atlantis, Sunda Land, atau turunan Nabi Sis ketika darah istrinya dirasuki Iblis.

Tidak urusan apakah sejarah manusia Nusantara lebih tua dibandingkan dengan Yunani kuno, Mesir kuno, Inka-Maya, Mesopotamia, sehingga juga jauh lebih tua daripada Ibrahim yang menurunkan Yahudi dan Arab yang kini sedang menguasai dunia.

EGP, apakah mereka sedang dilanda epidemi peracunan otak dua millenium, penipuan global yang berlangsung sejak lahirnya Isa Al-Masih, dilanjutkan 37 sesudah penyaliban beliau, serta disempurnakan tiga abad silam sesudah Revolusi Industri.

Pertengseng apakah benar "kasepuhan" nenek moyang Nusantara ini sengaja dikubur disembunyikan oleh pemenang sejarah dunia modern.

Nggak patheken juga apa mbah-mbah buyut mereka dahulu kala merupakan perintis "10 pilar peradaban": biangnya peradaban pertanian bumi dan kemaritiman laut, bikin password pemindah hujan, penyusun awan, dan penolak rudal, impor logam dari Mars dan Neptunus untuk bikin keris, teknologi penerbangan frontal anti-gravitasi, penemu bahan adiksi-adiksi dari antara gunung berapi dengan laut selatan, 41 level santet, yang anak-cucunya rindu trap-trap sawah pegunungan hingga bikin piramid. Atau apapun saja.

Juga biarkan saja apakah Maha (Perdana) Menteri Gadjah Mada dengan ideologi ambeng-nya jauh lebih demokratis dibandingkan dengan "'tumpeng" NKRI yang berlagak demokrasi tapi rakyatnya tak punya daya kontrol apa pun terhadap tipu daya nasional para pemimpinnya.

Pun tak usah disesali kenapa Majapahit bikin bangunan keraton dari kayu, sehingga hancur luluh tenggelam oleh luapan lumpur Canggu antara Sidoarjo dan Mojokerto.

Go to hell with simpang siur sejarah. Wali Songo pun sekarang semakin digugat-gugat eksistensi historisnya, karena "iman" metodologis-historis kita tidak kepada babad, legenda, folklore, atau dongeng.

Toh, sekarang para EO menyibukkan masyarakat untuk menziarahi Wali Sepuluh: Wali Sembilan plus Gus Dur, sementara Hadlratus-Syaikh Hasyim Asy'ari kakek beliau dan Kiai Wahid Hasyim bapak beliau sedang dipertimbangkan apakah termasuk wali atau bukan.

Bahkan biro-biro travel sudah melantik Wali Songo Jawa Timur.
Jadi Sunan Gunung Jati, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, tidak termasuk. Dicari wali-wali lain di lingkup Jawa Timur untuk disembilan-sembilankan.

Aku jatuh hati kepada Indonesia. Sebagian rakyatnya yang tidak bobrok berpendapat, Indonesia sedang bobrok-bobroknya.

Kenyataannya tidaklah bobrok, karena kebobrokan tidak mengerti kebobrokan, kegelapan tidak menyebut dirinya kegelapan.

Para penganut aliran kebobrokan berteriak cemas: "Bangsa Indonesia harus bangkit!"

Sementara itu, yang paling bobrok berpikir sebaliknya: "Kita sudah bangkit, bahkan sedang menikmati ninabobo dunia internasional yang menganugerahi kita 'Award of Kebangkitan'."

Di fajar hari, ibu-ibu sudah siap di pasar ketika presiden masih tidur.

Ada yang berfilsafat: rakyat yang baik adalah yang rajin salat subuh, yang produktivitasnya dimulai sejak sangat dini.

Tapi ada yang memelesetkan: subuh itu berwarna hijau, karena subuh adalah Islam.

Presiden dan pemerintah jangan rajin salat subuh, supaya wajahnya tak jadi hijau, seperti tahun-tahun terakhir Soeharto.

Dunia tidak suka Indonesia berwarna hijau dan pakai peci.

Untuk Indonesia, Islam mesti hijau lapuk, pemeluknya harus bodoh, kumuh, brutal, dan nutrisi rendah.

Meskipun demikian, tampil modern dan mewah boleh juga, asalkan hipokrit dan permisif.

Terserah. Yang pasti, jangan suruh rakyat Indonesia bangkit. Mereka tiap hari sudah bangkit, karena tiap hari jatuh.

Kejatuhan adalah parameter utama rakyat dalam mengukur setiap pemerintahan yang menimpakan kepada mereka musibah-musibah.

Seberapa kadar kejatuhan rakyat pada penguasa yang ini, yang itu, di zaman kerajaan maupun republik.

Rakyat Indonesia adalah pakar kejatuhan, maka juga Pendekar Kebangkitan, yang mampu bangkit meskipun tanpa kebangkitan.

Maka bernama bangsa garuda, meskipun ada yang mengejeknya sebagai bangsa emprit.

Tak apa.

Emprit jasadnya, garuda jiwanya. Garuda memperoleh kelahiran kedua pada usia sekitar 40 tahun dengan terlebih dulu melakukan penghancuran atas paruh dan kuku-kukunya, yang kemudian, bagi yang lulus: tumbuh paruh sejati dan kuku sejati.

Sebagaimana garuda terbang ke gunung-gunung batu untuk mematuki dan mencengkeram batu-batu itu sampai paruh dan kukunya tanggal --bangsa Indonesia hari ini juga sedang riang-riangnya menghancurkan paruh dan kukunya sendiri.

Garuda bangkit dan terbang, dengan 17 helai sayap dan 8 helai ekor, angka hari kemerdekaan 17 Agustus 1945.

Andaikanpun Indonesia merdeka pada tanggal 1 bulan 1, ia tetap jagoan dan sanggup terbang dengan sayap sehelai.

Bangsa tertangguh di muka bumi ini, sanggup bergembira dalam derita, mampu melangkah pasti di jalan ketidakpastian, ringan tertawa di kurungan rasa bingung dan sengsara.

Aku tergila-gila pada Indonesia. Bangsa yang juara atas hidupnya sendiri. Warga negara miskin antre naik haji menunggu 10 tahun lebih, tanpa pernah menawar berapa pun biayanya.

Bahkan membayar di muka, tanpa peduli ke mana bunganya.

Di Tanah Suci, mereka sowan kepada Kanjeng Nabi dan mendengarkan petuah menantu beliau si penjaga pintu ilmu Sayyid Ali bin Abi Thalib: ''Wahai bangsa Indonesia, jangan katakan kepada Tuhan bahwa kalian punya masalah, tetapi nyatakan kepada masalah bahwa kamu punya Tuhan."

Bangsa Indonesia punya banyak senjata untuk melawan kejatuhan dan siaga menyelenggarakan kebangkitan.

Mereka menantang kehidupan yang tidak rasional dan penuh kemustahilan dengan "bismillah".

Atas nafkah tidak mencukupi mereka bilang "tawakal". Didera keadaan serba-kekurangan terus-menerus mereka ladeni dengan "tirakat" dan keyakinan bahwa ''ayam saja dikasih rezeki oleh Allah''.

Ditipu habis oleh penguasa, cukup mereka tepis dengan ''Tuhan tidak tidur''.

Usaha gagal, dagang bangkrut, mereka layani dengan "istiqamah" dan "jihad fisabilillah".

Besok belum tentu makan, apalagi bayar kontrakan rumah dan terlebih-lebih lagi membiayai anak sekolah tidak membuat mereka putus asa, karena di dalam dada mereka ada "nekat".

Mereka adalah champion of life.

Jagoan dalam mengalahkan segala jenis kesusahan hidup.

Juara penderitaan. Sanggup membangun kegembiraan dalam kesengsaraan.

Petarung kesulitan. Pendobrak kemustahilan. Tertawa dalam kehancuran.

Pandai dalam kebodohan. Tidak mengenal lelah untuk terus-menerus ditipu, dibohongi, diperdaya, dan ditindas.

Di negara Pancasila, mereka sangat percaya kepada Tuhan, tetapi sangat toleran kepada berhala-berhala.

Di berbagai kegiatan hidup, dari keagamaan, politik, dan budaya, mereka bahkan cenderung eksploitatif terhadap berhala-berhala.

Sangat gemar bermain berhala, mengambil apa dan siapa saja sekenanya untuk diberhalakan, dipresidenkan, digubernurkan, di-Gus-kan.

Esok paginya berhala itu dibuang, ganti berhala baru. Parachampion of life sangat percaya diri, sehingga semau-mau mereka ambil berhala, pura-pura menyembahnya, mengaturnya, mempergilirkannya.

Rasa sayangku pontang-panting kepada Indonesia.

Bangsa yang tidak menuntut kepemimpinan kepada para pemimpin.
Tidak menuntut komitmen kerakyatan kepada petugas pemerintahan yang mereka upah.

Tidak menagih kesejahteraan kepada pengelola tanah airnya, bahkan menyedekahkan kekayaan kepada kepala negara kepala pemerintahan dan seluruh jajarannya.

Tidak mempersyaratkan keterwakilan kepada para wakilnya. Lahap mengunyah disinformasi yang dipasok oleh para petugas informasi.

Bangsa yang tidak mengenal kehancuran. Sebab memang tidak berjarak dari kehancuran.

Juga karena dalam stuktur kejiwaan mereka: antara kehancuran dan kejayaan, antara riang dengan sedih, antara maju dengan mundur, hebat dengan konyol, mulia dengan hina, pandai dengan bodoh, surga dan neraka, pada alam mental rakyat Indonesia --itu semua sama sekali bukan polarisasi, tidak bersifat dikotomis, tak berhulu-hilir, hulunya adalah juga hilirnya, hilirnya adalah juga hulunya.

Tak ada garis lurus interval. Kedua dimensi nilai-nilai itu berada dalam bulatan yang bersambung, yang kalau dipandang dari jarak tertentu: ia adalah sebuah titik.

Rakyat Indonesia tidak tertindas oleh ketidakmenentuan dalam kehidupan bernegara.

Republik ayo, kerajaan monggo. Presidensial silakan, parlementer tak apa.

Kalau pengurus negerinya mengabdi kepada mereka, ya, tidak dipuji. Kalau mengabdinya kepada diri penguasa sendiri, ya, dibiarkan. Kalau tidak mengabdi malah menganiaya, ya, dikutuk beberapa saat saja.

Mereka tidak terikat untuk mengingat apa yang harus diingat atau melupakan sesuatu yang harus dilupakan.

Juga tidak tertekan untuk harus tahu dan mengerti sesuatu. Mau ingat apa, mau lupa apa, mau ngerti apa, terserah-serah kepentingan mereka saat itu.

Sebab akurasi energi psikologis mereka mengarah ke kebahagiaan diri: ingat, lupa, dan mengerti bisa menjadi tembok penghalang utama yang membuat mereka tidak mencapai kebahagiaan secara pragmatis dan permisif.

Bahkan antara ingat dan lupa, antara ngerti dengan tidak ngerti, bisa diracik oleh jiwa manusia Indonesia menjadi sebuah kesatuan yang dibikin relatif.

Kapan butuh ingat, dia ingat. Kalau yang menguntungkan adalah lupa, mereka pun lupa.

Jangankan tentang isi dunia, sejarah, negara, pemerintah, penggadaian kekayaan tanah air, korupsi, dan perampokan oleh luar maupun dalam negeri: sedangkan terhadap surga sesungguhnya mereka tidak rindu-rindu amat, dan terhadap neraka mereka tidak benar-benar ngeri.

Cintaku kepadamu sekonyong-koder, Indonesia
Powered by Ridha dan Rahmat  اللهِ®

Jumat, 16 Agustus 2013

Orasi Ust. Hilmi Aminuddin, dalam Aksi Solidaritas utk Mesir di Lapangan Gasibu Bandung, 16/8/2013.

Kita tidak meratapi para syuhada di Mesir, karena mati syahid menjadi doa kita sehari-hari “allohumma amitna ‘alasyahadti fii sabiilik” dan menjadi cita-cita tertinggi kita “ almautu fii sabiilillahi asmaa amaaniina”. Mereka telah memenuhi janjinya dan sudah mencapai cita-cita tertinggi dalam hidupnya.

Yang kita ratapi kebiadaban bangsa Mesir terhadap saudaranya sendiri. Mesir adalah negara berpenduduk mayoritas Muslim.

Ummat Islam hanya ingin ikut serta dalam demokrasi. Kita tidak melihat demokrasi sebagai idiologi, tapi sebagai sebuah peluang dan sarana untuk berkompetisi menegakkan kebenaran. Namun ketika dalam kompetisi demokrasi itu dimenangkan oleh pihak Islam selalu ada pihak yang tidak rela. Di Turki  dua kali dikudeta oleh militer, sekarang di Mesir, padahal kita rela siapapun yang menjadi pemenang dalam berkompetisi. Kita ikhlas dari pihak manapun yang memenangkannya, tapi ketika kita memenangkan banyak yang tidak rela. Mari kita berdemokrasi secara fair.

Sebelum perjanjian camDavid Amerika harus mengeluarkan biaya pengamanan sekitar 150 ribu milyar dolar Amerika per/tahun, tapi setelah terjadi perjanjian CamDavid dengan para pengkhianat di Mesir, maka biayanya menurun jadi hanya 15 milyar dolar/tahun.

Militer Mesir banyak yang dikader oleh militer Amerika. Mereka mendapatkan beasiswa untuk sekolah militer di Amerika, sekarang jumlahnya sdh mencapai sekitar 18.000 orang yang dikader oleh militer Amerika dan sdh banyak yang memegang komando. Jadi mereka mengorbankan bangsanya sendiri karena ingin membalas budi.

Kita sedang terus memperjungkan agar masalah Mesir dibawa ke mahkamah internasional di Jenewa. Kita akan terus mendesak mahkamah internasional agar Assisi pemimpin kudeta diadili di Mahkamah internasional.

Kita harus mengentikan kebiadaban kemanusiaan yg terjadi di Mesir dan mengembalikan kemerdekaan & kebebasan bangsa Mesir

Studi Bidang Kepemimpinan dan Kewirausahaan Populer