Sabtu, 05 November 2016


Sahabat Hebat Mulia, 
Apakah Rasulullah SAW Berpolitik ?
Apa Pengertian Politik Dalam Islam ?
Apa Dasar Hukum Kita Wajib Berpolitik ?
Apakah Dibolehkan Ijtihad Politik ?
Politik dan Pesantren Serta Peran Kiai
Keberhasilan manuver-manuver politik Rasulullah SAW :
Apa yang Rasulullah Saw lakukan sehingga ia berhasil mendamaikan mereka? 

Temukan Jawabannya dalam artikel lengkap tentang Panduan Pintar Politik dan Kepemimpinan Sukses Nabi Muhammad SAW di : http://www.pesantrenpolitik.com/

Apakah Rasulullah SAW Berpolitik ?


Sungguh benar bahwa Rasulullah adalah contoh pemimpin yang mulia dan sukses, Tidak ada yang meragukan Kejeniusan Rasulullah Saw dalam memerankan politik Negara Islam, Beliau telah terbukti dan diamini kebenarannya oleh para ahli tahkik dan pemerhati politik dunia Islam.

Namun kepemimpinan Rasulullah SAW tidak dapat diukur atau dibandingkan dengan kepemimpinan siapapun dimanapun dan zaman manapun, walau ada diantara manusia ditakdirkan jadi pemimpin, corak dan naskah kepemimpinan tunggal yang hanya sekali terjadi dan tidak akan pernah terulang sehebat Rasulullah SAW. Yang demikian itu karena kepemimpinannya selalu terkait dengan masalah wahyu dan keimanan. Selebihnya hanya bisa mencontoh kehebatan dan kejeniusan Rasulullah SAW

Rasulullah Saw tidak melakukan manuver-manuver politik, diplomasi, negoisasi, jihad, perjanjian damai, kecuali dengan dasar wahyu dan iman yang menjadi penggerak utama perbuatannya, iman yang menjadi tema sentral dari ajaran yang diembannya. Olehnya itu, ia senantiasa dimonitoring oleh sang Pemberi Wahyu samawi dalam menjalankan kepemimpinannya.

Apa Pengertian Politik Dalam Islam ?

Politik adalah salah satu aktivitas manusia terpenting sepanjang sejarah. Dengannya manusia saling mengelola potensi yang tersebar diantara mereka, saling bersinergi dalam tujuan yang sama, saling memahami dalam perbedaan yang ada. juga saling menjaga aturan yang disepakati bersama (Baca definisi dan pengertian politik). Ada yang dipimpin dan ada yang memimpin, ada yang memikirkan sederet konsep mutakhir, ada juga yang merealisir. Ada yang memerintah dan ada juga yang diperintah. Semua ini adalah aktivitas umat manusia. Semakin skala aktivitas tersebut membesar, semakin tinggi bendera politik itu berkibar.

Dalam bahasa Arab disebut as-siyasah yang berarti mengelola, mengatur, memerintah dan melarang sesuatu. Atau secara definisi berarti prinsip prinsip dan seni mengelola persoalan publik (ensiklopedia ilmu politik).

Menurut Yusuf Qardhawi dalam Kamus Al-Kamil, bahwa politik adalah semua yang berhubungan dengan pemerintahan dan pengelolaan masyarakat madani.

Seperti yang kita ketahui, istilah politik tidak banyak kita temukan dalam Islam. Akan tetapi, esensi politik ada dalam Islam yaitu memimpin dan dipimpin. Kata Yasusu yang menjadi akar kata as-siyasah dalam hadist sahih dari Iman Bukhari dari Abu Huraira r.a Rasulullah bersabda “(Zaman dahulu) bani Israil itu dipimpin oleh para Nabi”. 

Hadis ini menunjukkan bahwa politik atau as-siyasa dalam Islam berarti masyarakat harus memiliki seseorang yang mengelola dan memimpin mereka ke jalan yang benar, dan membela yang teraniaya dari para pelanggar hukum sesuai dengan penjelasan Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitab Fathu Al-Bari. Inilah pemahaman Nabi akan definisi politik atau as-siyasah. Disinilah pengertian politik menemukan naungan rindang yang melindunginya dari hujanan asumsi yang menyebut bahwa istilah politik tidak pernah ada dalam literatur Islam.

Menurut Ibnu Aqil, bahwa pengertian politik dalam Islam (as-siyasah) adalah segala aktivitas yang membuat manusia lebih dekat kepada kebaikan dan lebih jauh dari kerusakan, walaupun tidak dibuat oleh Rasul dan tidak ada wahyu yang diturunkan untuknya.

Imam Syafii tidak setuju dengan adanya istilah politik, melainkan lebih sepakat dengan syariat. Pengertian syariat itu sendiri adalah semua arahan, batasan, perinta dan larangan yang diberikan Rasul. sehingga kata Imam Syafii, “tidak ada politik, kecuali sesuai dengan syariat”.

Ada beberapa pendapat bahwa politik tidak lahir di masa Rasul SAW, karena sejak manusia baru mengenal kata memimpin dan dipimpin, maka politik ada saat itu. Dikarenakan pengertian dan aplikasi politik di masa sebelum datangnya Islam itu adalah politik kebusukan dan kelicikan, maka banyak orang beragama Islam tidak sepakat dengan politik dalam Islam. akan tetapi kita juga harus melihat makna utama dari politik itu sendiri yaitu pengelolaan urusan manusia, sedangkan baik dan buruknya pengelolaan, itu urusan lain.

Sehingga dapat diambil kesimpulan awal bahwa pengertian politik dalam Islam adalah segala aktivitas dalam mengelola persoalan publik atau masyarakat yang sesuai dengan syariat Islam.


Apa Dasar Hukum Kita Wajib Berpolitik ?

1.0 Hukum Dari Allah ; Kekuasaan Dan Kedaulatan Milik Allah S.W.T.

An-nisa’ : ayat 78 : Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh, dan jika mereka memperoleh kebaikan, mereka mengatakan: "Ini adalah dari sisi Allah", dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana mereka mengatakan: "Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad)." Katakanlah: "Semuanya (datang) dari sisi Allah." Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun?

An-aam : ayat 62 : Kemudian mereka (hamba Allah) dikembalikan kepada Allah, Penguasa mereka yang sebenarnya. Ketahuilah bahwa segala hukum (pada hari itu) kepunyaanNya. Dan Dialah Pembuat Perhitungan yang paling cepat

Yasiin : ayat 83 : Maka Maha Suci (Allah) yang di tangan-Nya kekuasaaan atas segala sesuatu dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan.

A’raaf :ayat 4 : Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezki (nikmat) yang mulia.

36. Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.

2.0 Taat dan Patuh Kepada Pemimpin

An-Nuur :ayat 48 : Dan apabila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya, agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka, tiba-tiba sebagian dari mereka menolak untuk datang.
(an-nuur).

Posisi manusia menjadi pemimpin, keharusan memilih dan mentaati pemimpin.


كلكم راع وكلكم مسئول عن رعيته، الإمام راع ومسئول عن رعيته، والرجال راع في أهله، ومسئول عن رعيته، والمرأة راعية في مال زوجها، ومسئولة عن رعيتها، والخادم راع في مال سيده، ومسئول عن رعيته، والرجال راع في مال ابيه ومسئول عن رعيته.
(البخارى و مسلم)

Hadis Ibnu Umar r.a. Diriwayatkan daripada Nabi s.a.w berkata: baginda telah bersabda: kamu semua adalah pemimpin dan kamu semua akan bertanggungjawab terhadap apa yang kamu pimpin. Seorang pemerintah adalah pemimpin manusia dan dia akan bertanggungjawab terhadap rakyatnya. Seorang suami adalah pemimpin bagi ahli keluarganya dan dia akan bertanggungjawab terhadap mereka. Manakala seorang isteri adalah pemimpin rumahtangga, suami dan anak-anaknya, dia akan bertanggungjawab terhadap mereka. Seorang hamba adalah penjaga harta tuannya dan dia akan bertanggungjawab terhadap jagaannya. Ingatlah, kamu semua adalah pemimpin dan akan bertanggungjawab terhadap apa yang kamu pimpi

عليك السمع والطاعة في عسرك ويسرك ومنشطك ومكرهك وأثرةٍ عليك (مسلم و النسائي)

Hendaklah kamu mendengar, patuh dan taat (kepada pemimpinmu) dalam masa kesenangan (kemudahan dan kelapangan), dalam kesulitan dan kesempitan, dalam kegiatanmu dan di saat mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan sekalipun keadaan itu merugikan kepentinganmu..

مَن بايع إماما فأعطاه ثمرة قلبه وصفقة يده فليطعه مااستطاع (مسلم)

Barangsiapa membai’at seorang imam (pemimpin) dan telah memberinya buah hatinya dan jabatan tangannya, maka hendaklah dia taat sepenuhnya sedapat mungkin.

السمع والطاعة على المرء فيما أحبّ وكره إلاّ أن يؤمر بمعصية فلا سمع ولا طاعة

Mendengar dan mentaati wajib atas manusia dalam apa-apa yang ia sukai dan juga dalam apa yang tidak disukai, kecuali bila ia disuruh dengan sesuatu yang maksiat, maka tidak boleh didengar dan tidak boleh pula ditaati.

3.0 Permesyuaratan dan sistem mengambil keputusan di Dalam Islam

Al-Imran : ayat 159 : Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.(al-Imran)


As-Syura :ayat 38 :  Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.
(As-Syuura)


أجمعوا له العالمين من المؤمنين واجعلوه شورى بينكم ولا تقضوا فيه برأي واحد
Hendaklah kamu adakan kerapatan dengan orang-orang yang beriman, dan adakan lah permusyawaratan di antara kamu dan janganlah kamu memutuskan dengan fikiran sendiri
(Riwayat Imam Ibn Abdil- Barr)

تشاوروا الفقهاء والعابدين ولا تجعلون برأي خاصة
Hendaklah kamu bermesyuarat dengan ahli fiqh (orang-orang yang mempunyai pengertian tentang agama) dan orang-orang ahli ibadat, dan janganlah kamu putuskan dengan fikiran sendiri
( Riwayat Ath-Thabarani)

إن امتي لا تجتمع على ضلال، فإذا رأيتم إختلافا فعليكم بالسواد الأعظم . (أنس بن مالك)

Sesungguhnya umatku tidak akan bersatu dalam kesesatan, kerana itu jika terjadi perselisihan maka ikutilah suara terbanyak..

4.0 Keharusan untuk bersatu padu dan larangan berpecah belah

Al-Imran : ayat 103 : Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.

يقوا من سوّه ان يبسط له في رزقه , و أن ينسأله في اثره فليصل رحمه
Dari Abu Hurairah r.a. ia berkata; saya dengar Rasulullah s.a.w bersabda; “ siapa yang ingin rezekinya dibanyakkan (dilapangkan) dan umurnya dipanjangkan, hendaklah ia menghubungkan silaturrahim.

قال رسول الله : لا تحاسدوا ولا تناجشوا ولا تباغضوا ولاتدابروا، ولا يبع بعضكم على بيع بعض، وكونوا عباد الله اخوانا، المسلم اخوالمسلم لا يظلمه ولا يخذله ولا يحقره، التقوى ههنا، ويشير الى صدره ثلاث مرّات. بحسب امْرىء من الشر ان يحقر اخاه المسلم، كل المسلم على المسلم حرام دمه وماله وعرضه. (رواه مسلم)

Janganlah kamu semua hasad menghasad, jangan pula kecoh mengecoh, jangan benci membenci, jangan seteru menyeru dan jangan pula setengah dari engkau semua itu menjual atas jualannya orang lain. Dan jadilah hamba Allah sebagai saudara. Seorang muslim itu adalah saudara orang Muslim yang lain. Janganlah ia menganiaya saudaanya, jangan merendahkannya dan jangan menghinanya- enggan memberi pertolongan padanya. Ketaqwaan itu ada di sini- dan beliau menunjuk kea rah dadanya sampai tiga kali. Cukuplah seseorang itu menjadi orang jelek, jikalau ia menghina saudaranya sesame muslim. Setiap orang muslim terhadap orang muslim yang lain itu haram darahnya, hartanya dan kehormatannya..

و عن ابن عمر رضى الله عنهما ان رسول الله (ص) قال: المسلم اخوالمسلم لا يظلمه ولا يسلمه، من كان في حاجة اخيه كان الله في حاجته ، ومن فرّج عن مسلم كربة فرّج الله عنه بها كربة من كرب يوم القيامة، ومن ستر مسلما ستره الله يوم القيامة.

Dari Ibnu Umar r.a bahawasanya Rasulullah s.a.w bersabda; ‘seorang muslim itu adalah saudara orang muslim yang lain, janganlah ia menganiaya saudaranya itu, jangan pula menyerahkannya kepada musuh. Barangsiapa memberikan pertolongan pada hajat saudaranya, maka Allah selalu memberikan pertolongan pada hajat orang itu. Dan barangsiapa yang melapangkan kepada seseorang Muslim akan satu kesusahannya, maka Allah akan melapangkan untuknya satu kesusahan dari sekian banyak kesusahan pada hari kiamat. Dan barangsiapa yang menutup cela seseorang muslim, maka Allah akan menutup celanya di hari kiamat..

5.0 Keharusan Berlaku, Bersifat Adil Dan Menunaikan Keadilan
Keadilan Dalam Memerintah

An- Nisa’ : ayat 58 : Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.(an-Nisa’)


An-Nisa’ : ayat 135 :  Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.
(An-Nisa’)

عن عبد الله بن عمر وقال رسول الله (ص) إن المقسطين عند الله على منابر من نور عن يمين الرحمن عزّ وجلّ و كلتا يديه يمين الذين يعدلون في حكمهم واهليهم وماولوا.
Dari Abdullah bin Amr r.a katanya, Rasulullah s.a.w bersabda: ‘ sesungguhnya orang-orang yang adil itu di sisi Allah akan mendapat tempat di atas mimbar-mimbar dari cahaya terletak di sebelah kanan Allah. Iaitu orang-orang yang adil menjalankan hukum, adil kepada keluarganya, dan adil melaksanakan tugas yang diserahkan kepadanya. Katanya: kedua-dua tangan Allah itu dinamakan “yamin”’..


6.0 Keharusan Berlaku, Bersifat Amanah Dan Menunaikan Amanah Kepada Yang Berhak


Baqarah : ayat 283 : Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang[180] (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Baqarah)

Al-Imran :ayat 75 : Di antara Ahli kitab ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya harta yang banyak, dikembalikannya kepadamu; dan di antara mereka ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya satu dinar, tidak dikembalikannya kepadamu kecuali jika kamu selalu menagihnya. Yang demikian itu lantaran mereka mengatakan: "tidak ada dosa bagi kami terhadap orang-orang ummi. Mereka berkata dusta terhadap Allah, padahal mereka mengetahui. (al-Imran)

An-Nisa’ : ayat 2 : Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar. (an-Nisa’)

An- Nisa’ : ayat 58 : Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (an-Nisa’)

Al-Anfal :ayat 27 : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui. (al-Anfaal)


Al-Mu’minuun : ayat 8 : Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya. (al-Mu’minuun)


وعن ابي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله (ص) قال: آية المنافق ثلاث : اذا حدّث كذب، واذا وعد اخلف، واذا اؤْتمن خان .
Dari Abu Hurairah r.a, Rasulullah s.a.w bersabda; “ tanda orang munafik itu tiga macam, iaitu jikalau berkata dusat, jikalau berjanji mungkiri, dan jikalau diberi amanah lalu khianat..

7.0 Persamaan Darjat Dan Kedudukan Sesama Muslim

Al-Hujurat: ayat 13 : Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.

8.0 Keharusan Membela Diri Dan Keluarga

At-Tahrim : ayat 6 : Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.


As-Syu’araa’ : ayat 214 :Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat,


9.0 Sifat-Sifat Peminpin

Al-Baqarah : ayat 247 : Nabi mereka mengatakan kepada mereka: "Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu." Mereka menjawab: "Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang diapun tidak diberi kekayaan yang cukup banyak?" Nabi (mereka) berkata: "Sesungguhnya Allah telah memilih rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa." Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui. (al-Baqarah)


An-Nisa’ :ayat 139 : (yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman penolong dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah.(an-Nisa’)

An-Nisa’ : ayat 141 : (yaitu) orang-orang yang menunggu-nunggu (peristiwa) yang akan terjadi pada dirimu (hai orang-orang mukmin). Maka jika terjadi bagimu kemenangan dari Allah mereka berkata: "Bukankah kami (turut berperang) beserta kamu ?" Dan jika orang-orang kafir mendapat keberuntungan (kemenangan) mereka berkata: "Bukankah kami turut memenangkanmu, dan membela kamu dari orang-orang mukmin?" Maka Allah akan memberi keputusan di antara kamu di hari kiamat dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman. (an-Nisa’)

An-Nisa’ : ayat 144 : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu) ? (an-Nisa’)


Al-anfaal : ayat 73 : Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.(al-anfaal)

10.0 Pemimpim-Peminpin Yang Menyesatkan

Al-Maidah : ayat 77 : Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus."
(al-Maaidah)

At-Taubah : ayat 12 : Jika mereka merusak sumpah (janji)nya sesudah mereka berjanji, dan mereka mencerca agamamu, maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu, karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang (yang tidak dapat dipegang) janjinya, agar supaya mereka berhenti.(at-Taubah)

At-Taubah: ayat 34 : Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, (at-Taubah)

11.0 Melantik Pemerintah

Al-A’raaf : ayat 142 : Dan telah Kami janjikan kepada Musa (memberikan Taurat) sesudah berlalu waktu tiga puluh malam, dan Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh (malam lagi), maka sempurnalah waktu yang telah ditentukan Tuhannya empat puluh malam. Dan berkata Musa kepada saudaranya yaitu Harun: "Gantikanlah aku dalam (memimpin) kaumku, dan perbaikilah, dan janganlah kamu mengikuti jalan orang-orang yang membuat kerusakan." (al-A’raaf

Al-A’raaf : ayat 150 : Dan tatkala Musa telah kembali kepada kaumnya dengan marah dan sedih hati berkatalah dia: "Alangkah buruknya perbuatan yang kamu kerjakan sesudah kepergianku! Apakah kamu hendak mendahului janji Tuhanmu,Dan Musapun melemparkan luh-luh (Taurat) itu dan memegang (rambut) kepala saudaranya (Harun) sambil menariknya ke arahnya, Harun berkata: "Hai anak ibuku, sesungguhnya kaum ini telah menganggapku lemah dan hampir-hampir mereka membunuhku, sebab itu janganlah kamu menjadikan musuh-musuh gembira melihatku, dan janganlah kamu masukkan aku ke dalam golongan orang-orang yang zalim" (al-A’raaf)

12.0 Tanggungjawab Pemimpin

Al-Maaidah : ayat 42 : Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram. Jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan), maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka, atau berpalinglah dari mereka; jika kamu berpaling dari mereka maka mereka tidak akan memberi mudharat kepadamu sedikitpun. Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka dengan adil, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil. (al-Maaidah)

As-Syuara’ : ayat 215 : dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman. (As-Syuara’)

Al-Ahzab : ayat 6 : Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka. Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris-mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmim dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama). Adalah yang demikian itu telah tertulis di dalam Kitab (Allah). (al-Ahzab)

13.0 Kewajipan Menggunakan Hukum Islam

Al-Baqarah: ayat 213 : Manusia itu adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkann itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.(al-Baqarah)

Al-Maaidah :ayat 44 : Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.(al-Maaidah)

An-nisa’ : ayat 60 : Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu ? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.(an-Nisa’)

Apakah Dibolehkan Ijtihad Politik ?

kadang kita menjumpai sahabat menanyakan Rasulullah Saw dari sebagian perilakunya: “Apakah ini wahyu samawi yang tidak mengenal tawar-menawar, ataukah ini ijtihad Anda wahai Rasulullah Saw?” Seperti yang dilontarkan Hubab bin al-Mundzir yang menyarankan Rasulullah Saw menyusun strategi perang di bawah sumur yang ada di bukit Badr

Pendekatan seperti ini dapat dijumpai di tulisan para ulama, di antaranya Imam Qarafi (w 684 H/1285 M). Di sini beliau melihat bahwa kelompok pertama dan kedua –perilaku Nabi Saw dalam keadaan ia diposisikan selaku rasul (penyampai wahyu) dan mufti (pemberi fatwa)-, keduanya bagian dari agama yang disyariatkan. Sementara itu, kelompok ketiga dan keempat –perilakunya dalam keadaan ia ditempatkan sebagai hakim dan imam (pemimpin negara), keduanya bukanlah bagian mendasar agama yang absolut pelaksanaannya, seperti shalat dan puasa. Tetapi, keduanya merupakan ijtihad yang memperhatikan objek ijtihad yang kondisional, yang tidak lepas dari pengaruh waktu dan situasi yang senantiasa berubah. Di sini, Rasulullah Saw sebagai Imam (pemimpin negara) punya peran yang cukup luas, berperan sebagai hakim dan mufti. Olehnya itu, ia berhak melakukan sesuatu dengan mengatasnamakan dirinya hakim dan imam, seperti: menata strategi perang dan menyiapkan bala tentara, membagi hasil perang (ganimah), menyepakati dan menandatangani perjanjian damai, mengatur keuangan negara, menata perangkat-perangkat negara dengan memberi jabatan tertentu kepada yang layak menyandangnya dari sebagian sahabat, seperti: panglima perang, wali (gubernur di bahasa penulis), hakim, dan buruh kerja.([4])

Setelah imam Qarafi, Anda dapat menjumpai Waliyullah ad-Dahlawi yang pernyataannya tidak jauh beda dengan di atas. Dia menulis bagan Sunnah dan memecahkannya ke dalam dua anak panah:

Anak panah pertama: Apa yang datang dari wahyu yang wajib disampaikan Rasulullah Saw. Di bagian ini termasuk ilmu-ilmu akhirat, keajaiban-keajaiban alam gaib, tata cara pelaksanaan ibadah dan hukum-hukumnya. Sebagian ilmu-ilmu ini datang dari wahyu dan sebagian lainnya datang dari pemahaman Rasulullah Saw terhadap tujuan-tujuan penetapan syariat (Maqashid Syariah) yang diposisikan juga bagian dari wahyu.

Ini telah digarisbawahi Q.S. Al-Hasyr [59]: 7

قَالَ تَعَالَى: )وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ(.

Anak panah kedua: Apa yang di luar dari kategori wahyu yang wajib disampaikan, seperti pendapat dan ijtihad Rasulullah Saw di masalah tertentu yang telah digarisbawahi sabdanya berikut ini:

عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ زَوْجِ النَّبِىِّ e أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ e سَمِعَ جَلَبَةَ خَصْمٍ بِبَابِ حُجْرَتِهِ فَخَرَجَ إِلَيْهِمْ فَقَالَ: (إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ، وَإِنَّهُ يَأْتِينِى الْخَصْمُ، فَلَعَلَّ بَعْضَهُمْ أَنْ يَكُونَ أَبْلَغَ مِنْ بَعْضٍ فَأَحْسِبُ أَنَّهُ صَادِقٌ فَأَقْضِى لَهُ، فَمَنْ قَضَيْتُ لَهُ بِحَقِّ مُسْلِمٍ فَإِنَّمَا هِىَ قِطْعَةٌ مِنَ النَّارِ فَلْيَحْمِلْهَا أَوْ يَذَرْهَا). ([5])

Dan sabdanya di kisah pohon kurma yang pengawinan dan pembuahannya sepenuhnya dikembalikan kepada alam dan hukumnya tanpa ada campur tangan manusia:

حَدَّثَنِى رَافِعُ بْنُ خَدِيجٍ قَالَ: قَدِمَ نَبِىُّ اللَّهِ e الْمَدِينَةَ، وَهُمْ يَأْبُرُونَ النَّخْلَ، يَقُولُونَ يُلَقِّحُونَ النَّخْلَ، فَقَالَ: «مَا تَصْنَعُونَ». قَالُوا: كُنَّا نَصْنَعُهُ، قَالَ: «لَعَلَّكُمْ لَوْ لَمْ تَفْعَلُوا كَانَ خَيْرًا». فَتَرَكُوهُ فَنَفَضَتْ أَوْ فَنَقَصَتْ،([6]) قَالَ: فَذَكَرُوا ذَلِكَ لَهُ، فَقَالَ:«إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ، إِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَىْءٍ مِنْ دِينِكُمْ فَخُذُوا بِهِ، وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَىْءٍ مِنْ رَأْىٍ فَإِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ».([7])

Yang termasuk juga dalam kategori bidikan anak panah kedua ini ilmu-ilmu dunia, seperti: kedokteran, pertanian, kerajinan tangan, dan semua yang bertumpu pada keahlian dan percobaan, serta segala hal yang berkaitan dengan kebijakan-kebijakan politik pemimpin negara di peperangan dan pembagian hasil perang (ganimah), demikian pula dengan masalah-masalah pengadilan. ([8])

Di samping itu, ada hakikat lain yang tidak kalah pentingnya dengan apa yang telah mengorek perhatian Anda, sekularisme yang menguliti agama dari perannya, mengenyampingkan ajaran-ajaran agama dalam menahkodai kehidupan duniawi, sekularisme yang memetakan peran agama dan membatasi gerak langkah dan jangkauannya. Agama yang diinginkan mereka agama yang hanya mementingkan kehidupan ukhrawi semata, agama yang hanya diperdengarkan di tempat-tempat ibadah saja, yang mereka inginkan apa yang digemakan dengan begitu kuatnya oleh para pengikut sejati mereka: “Bagi kaisar urusan duniawi, dan bagi gereja urusan ukhrawi, jangan pernah mencampuradukkan kedua tatanan kehidupan ini!”

Mereka terpukul oleh apa yang menghantui mereka dari penindasan gereja yang mengatasnamakan agama di zaman kegelapan. Mereka seperti baru saja tersadar dari mimpi buruk pengadilan-pengadilan gereja yang tidak mengenal belas kasih bagi mereka yang menyalahi keyakinan dan kehendak gereja yang memberikan dirinya hak mutlak menilai, menentukan, dan menjatuhkan hukum kepada siapa saja yang dianggapnya menentang ajaran gereja. Zaman pengekangan yang membelenggu daya kreasi pikir yang tidak berdaya melahirkan teori-teori ilmiah dan filsafat yang dapat mendongkrak kemajuan peradaban Eropa.

Yang terimbas dari aliran pemikiran yang sakit dan menyakitkan seperti di atas, matanya seperti dimasuki debu yang menghalanginya melihat dengan begitu jelas keberhasilan Rasulullah Saw sebagai kepala negara dalam menahkodai tata negara Islam di Madinah.

Yang menjadi pertanyaan: “Apa yang menyebabkan peradaban Barat maju di era sekularisme yang begitu kuatnya menancapkan gigi-gigi taringnya di seluruh sendi kehidupan mereka? Apakah umat Islam sepatutnya menanggalkan pakaian agama mereka dalam kehidupan dunia seperti umat Eropa dan Amerika yang meraih kemajuan duniawi yang jauh dari campur tangan agama?

Tentu tidak, yang diyakini bersama, kejayaan umat Islam dengan berpegang teguh kepada Al-Quran dan Hadits. Semakin jauh kita melangkahkan kaki dari kedua sumber hidup ini, semakin jauh kita tertinggal di gerbong paling belakang kereta peradaban. Sementara itu, kemajuan umat-umat Barat dengan mengamini apa yang diejakan sekularisme mereka. Semakin kuat pegangan mereka terhadapnya, semakin dekat bagi mereka keberhasilan dan kejayaan duniawi. Tetapi, mereka lupa bahwa pohon kejayaan mereka itu rapuh, tidak kuat menghadapi badai, buahnya yang indah tidak mampu memenuhi kekosongan jiwa mereka yang rindu kepada ketenangan jiwa, ketenangan yang hanya ditemukan bagi mereka yang mempercayai kehidupan ukhrawi yang dituturkan agama. Di samping itu, kitab suci mereka yang telah disentuh perubahan dan pemalsuan tangan-tangan jahil mereka sendiri tidak layak lagi menjadi pegangan hidup dalam tingkatan dunia-akhirat, sehingga dengan sendirinya mereka mencari penopang dan sandaran kehidupan duniawi lain, dan mereka pun menemukannya di jabaran-jabaran sekularisme.

Olehnya itu, sekularisme bagi mereka obat penawar ampuh dari pahitnya zaman kegelapan Eropa yang menayangkan kegelapan dan kemunduran dari pelbagai aspek kehidupan. Sementara itu, sekularisme bagi kita, umat Islam, racun mematikan yang ingin melucuti pribadi Islam kita dari ajaran-ajaran agama, sehingga kita dengan mudahnya menafikan agama dari sendi-sendi kehidupan.

Jadi, apa lagi yang menyebabkan kita mengimpor produk asing ini, mengadopsi, dan menelannya mentah-mentah, kecuali taklid bodoh yang membabi buta meniru produk-produk mereka yang jauh dari nilai-nilai agama. Apa yang menyebabkan kita alergi dari segala yang islami dan lebih tamak kepada apa yang kebarat-baratan, kecuali gengsi dan angkuh atas nama modernitas yang diberkahi sekularisme dan westernisasi.

Bukankah sekularisme dengan segala corak, filsafat, dan kerusakannya yang berusaha keras menjauhkan agama dari negara dan mendesain kehidupan dengan desain hawa nafsu, undang-undang buatan manusia, dan kesalahan-kesalahan mereka, bukankah paham seperti ini menyalahi syariat?

Jika mereka ingin melihat Islam hanya sebatas agama tanpa penghayatan dan penerapan hidup, bukankah keinginan seperti ini menyalahi tujuan kedatangan Islam, kedatangannya yang ingin mengibarkan panji syariat di muka bumi?

Yah, Islam itu bukanlah seperti teori arsitek atau cara kerja mesin yang tidak menuntut apa-apa dari seseorang kecuali meyakini dan menyebutkan dalil-dalil kebenarannya, ia pun bukan seperti filsafat akal yang dengan membacanya seseorang akan terhibur, atau ia hanya dipegang dan dibaca oleh para pemerhatinya jika timbul dalam diri mereka keinginan yang mendorong mereka untuk membaca dan mengamati. Islam bukan seperti ini dan itu, tetapi Islam metode hidup yang meliputi seluruh bentuk pembelajaran, baik rohani, praktek, atau yang bersifat ilmiah, ia pun menyuguhkan kaidah-kaidah yang jelas dalam mencapai kemaslahatan umum yang erat kaitannya dengan masalah-masalah pribadi, lingkungan, negara, dan umat.

Itulah Islam yang ingin dipudarkan bahkan ditutup cahayanya oleh mereka, tetapi, bagaimana mungkin mereka melakukannya, Islam metode kehidupan sempurna dunia-akhirat yang diridhai Allah, pemilik matahari kehidupan. ([9])

Kini, penulis yakin bahwa Anda dengan penuh percaya diri mengamini apa yang telah dikatakan oleh kebanyakan para ahli tahkik dan pemerhati sejarah politik Islam bahwa Rasulullah Saw pemimpin negara Islam pertama di Madinah yang menjalankan kebijakan-kebijakan politiknya demi menjaga kedaulatan Islam dari rongrongan kafir Mekah dan Yahudi di Madinah.


Politik dan Pesantren Serta Peran Kiai


Indonesia merupakan sebuah negara dengan penduduknya yang multikultural dan plural, yang terdiri dari bermacam-macam suku, agama, ras dan antar golongan. Berdasar atas pluralitas keislaman di Indonesia, maka dapat menjadikan setiap kelompok keagamaan dalam Islam dapat dimanfaatkan sebagai basis pendukung setiap kepentingan politik.

Hal ini ditandai dengan pesatnya pertumbuhan partai-partai politik Islam secara kuantitatif untuk memperebutkan pengaruh pada lahan politik yang sama. Keterwakilan umat Islam bukan lagi dalam kapasitas perbedaan platform ideologis atau bermakna pembelaan kepentingan umat Islam. Dalam konteks ini, pragmatisme politik praktis bahkan cenderung menjadi lebih menonjol dibanding usaha pembelaan kepentingan komunitas dan agama.

Di kalangan NU atau Muhamadiyah, di mana kiai dan tokoh pesantren menjadi pilar kultural utamanya, muncul beberapa partai politik yang masing-masing mengklaim sebagai representasi politik komunitas ini. Masing-masing juga berupaya menempatkan beberapa kiai dan tokoh pesantren sebagai motor penggerak ataupun sekedar legitimasi.

Dalam perspektif teori politik, tindakan para kiai tersebut merupakan counters-hegemoni. Yaitu upaya untuk melakukan perlawanan terhadap kekuasaan yang cenderung melakukan penguasaan terhadap seluruh dimensi kehidupan politik dan pemerintahan. Akibatnya, sejak periode Pemilu pasca Orde Baru sampai saat ini, afiliasi politik para kiai dan tokoh pesantren terpecah ke dalam beberapa partai yang mengatasnamakan golongan nahdliyin atau muhamadiyah. Perpecahan internal yang muncul kemudian juga senantiasa dilegitimasi dengan dukungan dan restu sekelompok kiai tertentu.

Kecenderungan tersebut tampaknya juga terjadi pada arena politik lokal, daerah. Dalam kasus-kasus pemilihan kepala daerah, kiai dan tokoh pesantren banyak terlibat dalam upaya membangun dukungan politik bagi calon-calon tertentu. Para calon kepala daerah sendiri, bupati ataupun gubernur, juga tak henti berupaya melakukan hal yang sama sebagaimana dilakukan para politisi partai.

Terbelahnya dukungan politik kiai tak terhindarkan lagi dalam meloloskan calon tertentu dalam proses pilkada. Dalam hal ini kedekatan atau keberhasilan masing-masing calon meraih dukungan kiai atau tokoh-tokoh pesantren tertentu menjadi penentu afiliasi dukungan, yang mengakibatkan dukungan politik kiai terbelah kepada beberapa calon berbeda. Dalam beberapa kasus hal ini bahkan diwarnai ketegangan politik antara tokoh-tokoh partai berbasis NU dan Muhamadiyah dengan mereka yang berada pada jajaran pengurus Ormas.

Setelah diamati dan diperiksa sepak terjang kiai pesantren dalam kancah politik praktis ternyata membawa perubahan pada penilaian masyarakat terhadap kiai pesantren. Kiai yang dulunya sangat disegani oleh masyarakat, bisa tidak lagi disegani, karena terjung ke dalam politik praktis. Alasan yang biasa disampaikan oleh masyarakat adalah karena perilaku kiai sudah berubah; tidak lagi menjadi panutan akibat sudah melakukan perbuatan yang tidak patut. Meskipun kasusnya tidak banyak, tetapi figur kiai menjadi turun. Jika dulu kiai menjadi tuntunan, bisa menjadi tontonan.

Situasi demikian memperumit kewibawaan kiai pesantren. Tak heran jika sekarang kita menyaksikan bahwa figur kiai pesantren sudah mulai luntur digantikan figur lain. Kewibawaan seorang kiai pesantren tidak lagi seperti dulu. Perintah kiai kepada santrinya tidak lagi otomatis dipatuhi sehingga kiai tidak otomatis lagi menjadi vote getters (mesin pendulang suara) yang efektif. Jika dulu kiai pesantren bisa menjadi mesin politik yang efektif, maka sekarang mesin politik sudah digantikan oleh media televisi melalui iklan politik. Popularitas partai politik dan kandidat kini sudah tergantung pada media.

Sudah saatnya Kiai kembali pada medan dakwah politik yang lurus, jujur, berani, dan berakhlakul karimah, atau tetap berdakwah di lingkungan sendiri. Karena ternyata dakwah kiai di tengah dunia politik yang masih banyak kecurangan, tipu muslihat, malah menjerumuskan Kiai ke lubang kehancuran dan kehinaan. Dan bila kita melihat, keterlibatan Kiai di panggung politik, saat ini belum banyak memberikan sumbangan berarti dalam menciptakan perilaku politik yang mulia. Nilai-nilai spiritualitas seperti keadilan, persamaan, dan amanah nyaris gagal ditransformasikan dalam kehidupan politik, bahkan tidak bisa dipungkiri, dalil agama yang dimiliki kiai banyak digunakan untuk melegitimasi peran politiknya yang kadang-kadang keluar dari nilai-nilai keislaman itu sendiri. Sehingga bisa dikatakan ada semacam distorsi terhadap dalil agama dalam melanggengkan kekuasaan.

Saatnya kiai kembali ke khitohnya menemukan momentumnya di tengah tuntutan penguatan masyarakat sipil. Berpolitik jalan lurus atau kembali ke Bidang garapan kiai yang asli dalam memberdayakan civil society, Karena amanah Kiai banyak sekali, melebihi bidang garapan di dunia politik praktis. Sebagai kekuatan masyarakat, ke depan kiai harus memposisikan dirinya sebagai oposisi ekstra parlementer yang lebih kuat, berwibawa, bagi eksekutif, legislatif, dan yudikatif menuju pemerintahan yang bersih dan menjadi Baldatun Toyyibatun Warobbun Ghofur.

Berikut diantara Keberhasilan manuver-manuver politik Rasulullah SAW :

Pertama: Kemampuannya menyatukan kaum Aus dan Khasraj

Yang diketahui bersama, Rasulullah Saw tidak hijrah ke Madinah sebelum kota ini layak menerima kedatangannya.

Yang diketahui juga, kota Madinah, sebelum Rasulullah Saw hijrah ke sana, kota yang penuh hiruk-pikuk perselisihan kaum Aus dan Khazraj yang dipicu oleh fitnah-fitnah busuk orang-orang Yahudi. ([10]) Api kebencian di antara mereka senantiasa berkobar dan mustahil dipadamkan meski menghabiskan yang kecil dan besar, yang hina dan mulia dari perbendaharaan alam. Kebencian ini mewariskan dendam membara di hati mereka yang memicu terjadinya perang Buats yang kekal dikenang sejarah. Kenyataan ini telah diukir abadi Q.S. Al-Anfal [8]: 63, namun, dengan kehendak Allah SWT Rasulullah Saw berhasil memadamkan kobaran api kebencian itu dengan persaudaraan Islam yang menyejukkan hati mereka.

Apa yang Rasulullah Saw lakukan sehingga ia berhasil mendamaikan mereka?


Seperti adat kaum Arab di musim ibadah, mereka berbondong-bondong menuju kota Mekah untuk beribadah di Ka’bah. Kesempatan ini tidak dilewatkan begitu saja Rasulullah Saw, tetapi ia memanfaatkannya dengan mendatangi mereka memaparkan dirinya dan agama yang ia emban. Di tahun itu, secercah harapan terbit dari kejauhan sana. Rasulullah Saw mendatangi kaum Khazraj pada bulan Rajab –seperti yang disepakati kebanyakan ahli sejarah- mengajak mereka masuk Islam setelah memaparkan kebenaran dan keindahannya.

Mereka pun dengan antusias mendengarkan dakwah Rasulullah Saw tersebut, mengingat masalah besar yang mereka tinggalkan di Madinah, perpecahan yang disebabkan oleh orang-orang Yahudi di antara mereka, Aus dan Khasraj. Di lain sisi, mereka pun menakuti ancaman orang-orang Yahudi yang selalu mengintimidasi mereka dengan kedatangan seorang Rasul yang akan memimpin orang-orang Yahudi membasmi mereka.

Kedua faktor ini sebab utama yang menarik perhatian mereka mendengarkan apa yang disampaikan Rasulullah Saw.

Mereka pun sejenak termenung merenungkan perihal buruk mereka di kota Madinah dan sifat-sifat kenabian Rasulullah Saw seperti yang diberitakan oleh ahli kitab orang-orang Yahudi, dan tidak lama kemudian setelah mereka bermusyawarah, mereka dengan tekad bulat yang didasari mufakat mengumumkan keislaman mereka. ([11])

Rasulullah Saw melakukan hal serupa terhadap kaum Aus. Namun, sejarah mencatat bahwa kaum Khazraj lebih cepat menerima dan mempercayai kebenaran kenabian dan kerasulannya dari kaum Aus. Mereka inilah yang menyebarkan Islam secara diam-diam di rumah-rumah mereka, jauh dari pengetahuan orang-orang Yahudi, sehingga kota Madinah sudah layak menjadi kota hijrah Rasulullah Saw.([12])

Setibanya di Madinah, yang pertama kali dilakukan Rasulullah Saw sebagai kepala negara membangun masjid, rumah Allah yang tidak mengenal kata perbedaan di antara manusia, tempat ibadah yang kondusif menangani masalah-masalah kenegaraan yang membutuhkan keteduhan dan kejernihan berpikir. Di sini masjid Rasulullah Saw memainkan peranan tersebut dengan baiknya.

Kemudian, Rasulullah Saw sebagai pemimpin negara mengajak orang-orang Yahudi menyepakati sebuah perjanjian suci, perjanjian yang mewajibkan mereka untuk hidup damai berdampingan dengan orang-orang mukmin, Muhajirin dan Anshar, dan mempertahankan kedaulatan negara Madinah dari rongrongan orang-orang kafir yang sewaktu-waktu dapat mengancam stabilitas negara. Tetapi, Yahudi Madinah melanggar perjanjian tersebut dan tidak menepatinya, bahkan bersekutu dengan kafir Mekah mengepung bala tentara Islam yang dipimpin langsung Rasulullah Saw di perang Khandaq. Olehnya itu, wajar jika mereka diusir Rasulullah Saw dari kota Madinah karena telah melanggar piagam suci perdamaian tersebut.

Keberhasilan yang cemerlang ini bukti nyata kepiawaian Rasulullah Saw dan ketajaman analisa politiknya dalam menangani masalah-masalah kenegaraan yang menuntut ketepatan dan ketangkasan khusus.

Kedua: Perjanjian Hudaibiyyah

Di perjanjian Hudaibiyyah, Rasulullah Saw beserta 1.300 muslim keluar menuju kota Mekah dengan maksud ziarah, dan bukan menginginkan perang. Setelah berita ini didengar orang-orang musyrik, mereka pun menghalang orang-orang mukmin di Hudaibiyyah sebelum memasuki kota Mekah. Situasi ini menyebabkan ketegangan urat saraf di antara kedua belah pihak yang berujung perjanjian damai yang bersyarat. Mereka mensyaratkan orang-orang Islam mengurungkan niat menziarahi kota Mekah tahun ini, dan dibolehkan mengunjunginya tahun depan. Di samping itu, mereka pun menambahkan syarat yang tidak kalah kerasnya dengan di atas, mereka meminta pihak Islam mengembalikan siapa pun dari mereka yang ditemukan mendatangi Madinah dalam keadaan beriman atau tidak, dan mereka tidak diwajibkan memulangkan seseorang dari pihak muslim jika ditemukan mendatangi kota Mekah.

Syarat yang secara lahiriah telah mencoreng kehormatan mereka dan kedaulatan negara Islam, syarat yang sulit diterima oleh sebagian sahabat. Yang demikian itu karena yang mereka yakini kemampuan mereka meraih kemenangan jika terjadi peperangan dengan kafir Mekah. Mereka tidak peka melihat apa yang mendasari Rasulullah Saw menerima perjanjian tersebut, pandangan singkat mereka tidak mampu melihat sudut pandang Rasulullah Saw yang jauh meneropong kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di masa mendatang.

Dengan perjanjian ini kota Mekah dan Madinah diselimuti sejuknya kedamaian dan perasaan aman, terbentang benang pertemuan dan perjumpaan antara kedua belah pihak, sehingga orang-orang Islam dengan leluasa memperdengarkan mereka Al-Quran dan melakukan debat tentang kebenaran ajaran Islam. Kejadian-kejadian seperti ini tidak pernah dijumpai sebelum terjadinya perjanjian damai di Hudaibiyyah. Olehnya itu, banyak dari mereka yang memeluk Islam. ([13])

Kenyataan ini seperti arus deras yang terpancar kuat menerpa dan mengangkat keraguan sebagian dari mereka yang enggan menerima kecemerlangan Rasulullah Saw dalam menjalankan politik negara.

Di penghujung tulisan ini saya mengajak pemerhati Sunnah Rasulullah Saw dan tatanan politik Islam menyuarakan kesimpulan berikut ini:

“Peka terhadap pemetaan Sunnah Rasulullah Saw langkah pertama dan yang terpenting dalam memeras kekayaan khazanah makna-makna kenabian dan kerasulan, buta terhadap pemetaan ini boleh jadi menjadi hijab tersendiri terhadap khazanah tersebut. Keberhasilan manuver-manuver politik Rasulullah Saw dalam menjaga stabilitas negara Islam pertama di Madinah tidak dapat dipungkiri lagi. Yang mengingkarinya seperti menutup cahaya matahari dari muka bumi dengan kedua telapak tangannya. Islam tidak dapat dipisahkan dari tatanan hukum negara. Yang menanggalkannya dari organ-organ tubuh negara seperti menggali kuburan sendiri, mereka yang menginginkan kebebasan yang didasari nafsu hewani dan dekadensi moral yang meruntuhkan. Kenakakan gaun Islam Anda dan lambaikan tangan perpisahan meninggalkan corak-corak sekularisme yang mengaburkan dan membutakan pandangan hidup Anda! Sekarang, negara Islam yang berdaulat perangkat utama dalam menegakkan ajaran dan hikmah syariat.”

Sumber Panduan Pintar Politik dan Kepemimpinan Sukses Muhammad SAW  : 
  • http://www.dakwatuna.com/2013/02/13/27774/kejeniusan-rasulullah-saw-menata-politik-negara/#axzz4PB5sKfr8
  • http://cyberdakwah.com/2013/06/kepemimpinan-dan-politik-kiai-pada-pondok-pesantren/
  • http://myblog-basith.blogspot.co.id/2007/03/ayat-ayat-al-quran-dan-hadith-tentang.html
  • http://bettermenejer.blogspot.co.id/2014/08/cara-berpolitik.html
([1]) Abbas al-Aqqad, al-Abqariyyât al-Islâmiah: Abqariyyah Muhammad, Darul Kitab al-Lubnani, Beirut, cet. 1984, vol. 1, hlm. 160-161

([2]) Prof. Dr. Muhammad Imarah, Muhammad Saw ar-Rasul as-Siyâsi, Dar as-Salam, Cairo, cet. 1, 1433 H/2012 M, hlm. 35

([3]) Seperti yang telah dijelaskan di tulisan kami “Keistimewaan Ijtihad Rasulullah Saw” yang dimuat di: http://www.dakwatuna.com/2013/01/26389/keistimewaan-ijtihad-rasulullah-saw-1/

([4]) Lihat: Al-Qarafi, Abu al-Abbas Ahmad bin Idris, al-Ihkâm fi Tamyiz al-Fatâwa anil Ahkâm wa Tasharrufât al-Qâdi wal Imâm, manuskrip perpustakaan Azhar, no. registrasi khusus: 801, no. registrasi umum: 12601, hlm. 4

([5]) Hadits riwayat Ummu Salamah R.A di Shahih Imam Muslim, kitab al-Aqdiyyah, bab al-Hukmi bi ad-Dzhahir wa al-Lahni bil Hujjah, hadits. no: 4570, hlm. 909

([6]) Di sini Rasulullah Saw lebih cenderung membiarkan pengawinan dan pembuahan pohon kurma kepada hukum alam tanpa campur tangan manusia seperti biasanya. Namun, karena ijtihad ini menyalahi kenyataan yang ada, buah kurma yang dihasilkan buruk, dan tidak mendatangkan kemaslahatan umum, Rasulullah Saw pun menarik perkataannya dan mensyariatkan mereka hukum umum, yaitu: “Jika Aku memerintahkan kalian dari agama ini untuk dikerjakan maka patuhilah! Dan jika Aku menyerukan suatu perkara dari pendapatku sendiri maka saya manusia seperti kalian, tidak luput dari kekeliruan pendapat.”

([7]) Hadits riwayat Râfi’ bin Khadij R.A di Shahih Imam Muslim, kitab al-Fadhail, bab Wujub Imtitsal Ma Qalahu Syar’an duna Ma Dsakarahu min Maâyish ad-Dunya, hadits. no: 6275, hlm. 1234

([8]) Lihat: Waliyullah bin Abdurrahîm ad-Dahlawi, Hujjatullah al-Bâligah, ditahkik oleh Sayyid Sâbiq, Darul Jail, Beirut, cet. 1, 1426 H/2005 M, vol. 1, hlm. 223-224

([9]) Lihat: Dr. Muhammad Rasyâd Abdul Azîz Dahmash, Atsar al-Fikri al-Almâni fi al-Mujtama’ al-Islâmi, (nama penerbit dan tahun cetak tidak disebutkan), hlm. 119

([10]) di antara Kabilah-kabilah Yahudi yang masyhur di Madinah:

Banu Qaenaqâ’, mereka sekutu kaum Khazraj, mereka bertempat tinggal di dalam kota Madinah.

Banu an-Nadhîr, mereka sekutu kaum Khazraj, tempat tinggal mereka di sudut-sudut kota Madinah.

Banu Quraedsah, mereka sekutu kaum Aus, rumah-rumah mereka di sudut-sudut kota Madinah.

Mereka inilah yang menciptakan peperangan antara Aus dan Khasraj dalam kurun waktu yang cukup lama, seperti perang Buats. Lihat: Ar-Rahîq al-Makhtûm, hlm. 140

([11]) Jumlah mereka 6 orang:

As’ad bin Zurârah Abu Umâmah dari Bani an-Najjâr, Awf bin al-Hârits bin Rifâa, Râfi’ bin Mâlik bin al-Ajalân dari Bani Zuraeq, Qutbah bin Âmir dari Bani Salamah, Uqbah bin Âmir dari bani Harâm, dan Jâbir bin Abdillah dari Bani Ubaed.

([12]) Lihat: Prof. Dr. Thaha Habisyi, Qissah an-Nabi maal Yahud fi Jazirah al-Arab, hlm. 35.

([13]) Lihat: Syekh Muhammad al-Khidr Husain, Muhammad Rasulullah wa Khatam an-Nabiyyin, Maktabah al-Iman, Cairo, cet. 1, 1432 H/2011 M, hlm. 65

0 komentar:

Posting Komentar

Berpolitik adalah Ibadah, Mari Berdakwah dg penuh Hikmah dan Amanah, demi Kejayaan Ummah

Selamat Datang di Sekolah Kepemimpinan Istana Mulia (IM) : Welcome to School of Leadership

Jika ingin berbagi silahkan kirim email ke sahabatayi@gmail.com

Studi Bidang Kepemimpinan dan Kewirausahaan Populer